Perhatikandata berikut ini. (1) mengiringi ritual kematian (2) mendinginkan air upacara (3) memanggil hujan (4) sebagai genderang perang (5) sebagai alat upacara. dari pernyataan-pernyataan diatas, yang bukan fungsi nekara ditunjukkan nomor Untukmengetahui penggunaan tenaga penolong kelahiran di Indonesia, coba perhatikan tabel 1.3.3 berikut ini! sumber: suara merdeka, 2006 Tabel 1.3.3 Persentase balita berdasarkan penolong kelahiran pada tahun 2006 Tenaga medis/fasilitas kesehatan Dokter Gambar 1.3.1 Siswa siswi belajar dengan semangat di ruang terbuka. 12 Berikut ini yang merupakan kelebihan modem eksternal adalah a. mudah dipasang c. kecepatan aksesnya lebih tinggi b. harganya murah d. mereknya terkenal 13.Perangkat lunak yang digunakan untuk browser adalah. a. B RITUAL B.1 Upacara Hajat Sasih Upacara hajat sasih dilaksanakan enam kali dalam setahun, atau masing- merupakan tempat dimana makhluk hidup itu mati. Ketiga lapisan ini dihubungkan oleh satu poros yang disebut axis mundi. Axis mundi ini terletak pada pusat dunia rumah sebagai berikut (Perhatikan gambar no: 8, sketsa bangunan} a 1 Kerusakan Integritas Kulit Yang Berhubungan Dengan Kerusakan Mekanis Dari Jaringan Sekunder Akibat Tekanan, Pencukuran Dan Gesekan. 2) Nyeri Yang Berhubungan Dengan Trauma Kulit, Infeksi Kulit Dan Perawatan Luka. 3) Resiko Terhadap Infeksi Yang Berhubungan Pemajangan Ulkus Decubitus Terhadap Feses/Drainase Urine. ncc8. Mahasiswa/Alumni Universitas Indraprasta PGRI12 Juli 2022 1449Jawaban yang tepat adalah yang 2 Untuk lebih jelasnya, yuk pahami penjelasan berikut. Salah satu benda perunggu yang memiliki nilai estetika dan ekonomis sangat tinggi, dan ditemukan hampir di seluruh wilayah Asia Tenggara adalah nekara. Nekara bentuknya semacam berumbung, yang terbuat dari perunggu yang pinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup dan banyak yang mengatakan bentuknya seperti dandang terbalik namun memiliki banyak hiasan. Nekara digunakan saat upacara, untuk memanggil roh nenek moyang, dipakai untuk genderang perang, dan upacara pemanggil hujan, upacara pernikahan, upacara pemakaman, dan sebagainya. Sedangkan mendinginkan air bukanlah fungsi dari Nekara Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah 2Mendinginkan air Semoga membantu ya NBMahasiswa/Alumni Universitas Negeri Malang05 Juli 2022 0554Jawaban yang tepat adalah nomor 2. Nekara adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Ada juga yang mengatakan bahwa bentuknya seperti dandang terbalik tetapi memiliki banyak motif hiasan. Nekara diperkirakan ada sejak manusia mengenal teknik peleburan logam. Sementara teknik peleburan sudah dikenal oleh masyarakat praaksara pada masa perundagian atau zaman Fungsi dari Nekara / Moko antara lain 1. Sebagai alat upacara keagamaan/ memanggil roh nenek moyang 2. Alat /benda untuk barter 3. Tempat / wadah atau bekal kubur 4. Genderang untuk perang 5. Alat memanggil hujan 6. Sebagai status sosial 7. Mas kawin Jadi, yang bukan fungsi nekara di tunjukkan oleh nomor 2 mendinginkan air. LABerdasarkan informasi-informasi tersebut corak kehidupan manusia purba pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut ditunjukkan nomor MHDari jawaban dibawah ini yang tidak termasuk fungsi nekara adalah Yah, akses pembahasan gratismu habisDapatkan akses pembahasan sepuasnya tanpa batas dan bebas iklan! Home Lainnya 41 bulat, didalamnya beralaskan tikar. Penguburan harus dilakukan jam 1 satu siang. Malam harinya langsung diadakan acara Keleku ucapan syukur. 72 Dalam buku Dunia Orang Sawu karangan Nico L. Kana, ada beberapa istilah atau nama dari proses ritual yang dilakukan dalam Made Nata Mati Manis yang berbeda dengan informan yang diwawancarai penulis. Berikut adalah pemaparan yang dilakukan oleh Kana 73 tentang ritual Made Nata. Penetapan jenis upacara tergantung kepada hasil musyawarah diantara anggota kepala keluarga ina ama amu dalam kelompok dara amu di tempat orang yang meninggal tersebut menjadi warga. Keputusan ini sangat bergantung pada potensi ekonomi warga dara amu yang bersangkutan dan juga pada hubungan tolong-menolong antara almarhum dengan orang-orang di sekitarnya, yakni apakah semasa ia hidup, ia banyak memberi bantuan atau tidak kepada mereka. Selain itu tingkat usia juga dapat dijadikan faktor bagi keputusan yang akan diambil. Akibatnya, untuk pemuda atau anak-anak upacaranya sederhana saja, sedangkan bagi orang lanjut usia diusahakan upacara yang lebih lengkap dan mewah menurut kemampuan ekonomi kelompok dara amu-nya. Upacara yang sederhana dan dinilai terendah disebut Hogo wie Deo masak untuk Dewa. Yang lebih tinggi dari itu adalah Hae Awu naik kapal dan yang lebih tinggi lagi ialah Peake diikat. Yang lebih tinggi lagi di sebut Para Ki’i memotong kambing dan yang paling tinggi ialah upacara Tao Leo membuat teratak atau rumah. i. Upacara Hogo Wie Deo Ketika seseorang akan menghembuskan napas terakhirnya, padanya ditegukkan minuman ai lango jara air minyak perjalanan. Terdiri dari sebagian kecil hati binatang, 3 tiga butir beras yang kulitnya telah dikupas dengan tangan bukan beras tumbuk, 3 tiga 72 Hasil wawancara dengan bapak DTB 40 tahun, pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul WITA 73 Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, Jakarta Timur Sinar Harapan, 1983 , 42 sayatan minyak babi yang selama itu disimpan di loteng bagian perempuan, semuanya dimasak dalam periuk kecil atau yang disebut aru kuku, terbuat dari tanah dan biasa di gunakan untuk memasak makanan untuk anak kecil. Sebelum dikubur jenazah dibungkus dan diikat, umbai-umbai selimut Sabu diikatkan pada jenazah, kaki dan tangannya diikat dan dikenakan sabuk yang disebut dari dulu ai tali timba air. Apabila jenazah sudah terletak di liang kubur sabuk pun dilepaskan. Di sisi jenazah segera diletakkan sirih pinang dan tembakau, sedangkan ke mulutnya di masukkan sekeping uang logam dan cincin. Sesudah penguburan, hati anak babi atau disebut ana wawi lebo ade anak babi yang di lubangi hatinya diletakkan sebagai sesaji di atas kubur. Sore hari barulah bekas-bekas upacara seperti ikatan tali ikatan, wadah bekas minuman dan sebagainya itu dibuang ke tempat pembuangan di luar yang disebut kolo malaha. Sesudah jenazah dikuburkan, keesokan harinya diselenggarakan upacara “memasak untuk dewa” dengan menyembelih seekor babi sebagai tanda penutup upacara dan memohon agar kematian tidak berulang di rumah tersebut. Jika keluarga almarhum merupakan orang berada maka hewan yang dikurbankan seringkali lebih besar lagi. ii. Upacara Hae Awu Upacara kematian ini diawali pada saat si sakit akan menghembuskan napas terakhirnya. Ia akan diberi minum ai lango jara juga sampai 3 tiga kali, dari kaba rai wadah yang terbuat dari tanah, sambil diusapkan kepadanya. Jika ia ternyata sudah mati maka perbuatan ini hanya dilakukan secara simbolik. Untuk upacara ini yang disembelih adalah ayam, tetapi jika keadaan ekonominya lebih baik masih akan ditambah dengan kambing dan babi. 43 Sesudah yang bersangkutan benar-benar mati dilakukanlah perihe ri nga’a ri nginu disisakan makanan dan minuman, yakni membunuh hewan yang sebagian dagingnya dipersembahkan bersama makanan dalam wadah yang diletakan di sisi kiri dan kanan almarhum. Sesudah itu baru almarhum dimandikan. Seluruh tubuh almarhum diolesi dengan nyiu woumangi kelapa harum, yakni kunyahan kopra dan irisan kayu cendana, sedangkan rambutnya diolesi dengan parutan kelapa campur minyak babi. Ampas kelapa olesan itu lalu ditaburkan ke sekeliling pusar sedangkan sepotong kayu kemeyan yang disebut kerani di taruh di dalam lubang pusarnya itu. Sementara itu seuntai biji damar atau biji nitas dibakar dekat kemenyan tersebut. Kegiatan ini disebut tunu ahu membakar pusar. Jenazah lalu disiapkan dengan dihiasi baik-baik agar diterima para leluhur menumpang perahu yang akan membawanya ke dunia gaib. Jenazah lalu di bungkus dengan selimut atau sarung yang berwarna merah yang di sebut ai mea higi taba. Sebelum dibungkus di pinggang almarhum di selipkan sirih pinang, jagung rote, kacang hijau dan kelapa kering. Bungkusan jenasah lalu diikat pada bagian tangan, pinggang dan kakinya pun diikat dengan pelepah daun lontar yang dibuat khusus untuk itu. Tali ini di sebut dari wodue api keriu tali dua “urat” yang dipintal ke kiri, dan sebagai pengikat ia dinamai dari dulu ai nginu pa rujara la hedapa Deo tali timba air minum di jalan ke hadapan Dewa Dalam keadaan ini jenazah di baringkan dibalai-balai utama di dalam rumah sambil dikitari warga perempuan sepanjang malam. Esok hari para pelayat berdatangan. Pelayat perempuan berkerudung sarung atau disebut leo kolo tudung kepala dan sambil merangkul warga perempuan almarhum merekapun bertangis-tangisan. Para pelayat laki-laki diterima keluarga lelaki almarhum. Pada saat itulah para warga laki-laki itu memusyawarahkan bentuk upacara kematian buat almarhum. Penguburan berlangsung esoknya. Jenazah dibawa keluar melalui pintu anjungan dengan kaki lebih dahulu, kemudian diletakkan dalam liang kubur yang sudah dialasi sehelai 44 tikar. Sesudah itu barulah tali ikat jenazah dibuka. Penguburan pejabat pemimpin upacara umumnya dilangsungkan malam hari, dengan kepalanya ditudungi gong, sedangkan posisi badannya duduk diatas kulit kerang. Sebelum upacara penguburan ini di lanjutkan dengan penimbunan tanah maka diucapkanlah kata-kata perpisahan dan rasa terima kasih keluarga. Malamnya sanak saudara almarhum datang berkunjung lagi. Pada malam itu dituturkan sisilah, pedai huhu kebie bicara susunan silsilah, baik menurut garis lelaki atau pun perempuan si almarhum. Disinilah sering para pengunjung mengetahui lebih jelas lagi hubungan kekerabatan mereka dengan almarhum ataupun dengan sesama pengunjung itu sendiri. Upacara pada hari ketiga adalah upacara pemo yang berarti upacara memberisihkan. Sumbangan hewan besar seperti kuda atau kerbau atau pun hewan kecil seperti babi atau kambing, makanan, selimut, ikat kepala dan sirih pinang dibawa oleh para penyumbang ke rumah juga disiapkan. Seusai ini akan dilakukan imbalan buat para pengunjung yang memberikan sumbangan. Penyumbang seekor hewanakan menerima dua kali seperempat bagian hewan tersebut sebagai imbalan. Penyumbang makanan dan lainnya akan menerima imbalan berupa makanan dan potongan daging hewan. Pembagian wadah makanan ini disebut pekepala pai pembagian besek. Malamnya diadakan lagi pembacaan silsilah, yang pada hakikatnya merupakan tapeele ne hedui herui untuk menghabiskan susah dan duka. Esoknya merupakan logo pengahe hari berhenti yang tanpa upacara khusus. Makanan sisa kemarin disuguhkan dan karenanya disebut woubai makanan basi. Hari ke lima diperuntukkan untuk upacara haga, yang menandai selesainya urusan si mati dengan dunia orang hidup dan hemanga roh almarhum agar berangkat ke dunia gaib tanpa di halangi wango kekuatan yang negatif. 45 Gambar 4. Upacara Haga pada peristiwa kedukaan 74 Pembawa ayam orang yang tidak memakai baju adalah pemimpin upacara, berdiri berhadapan dengan keluarga terdekat almarhum. Upacara ini harus dilakukan didalam kampong dengan membelakangi pintu toka dimu gerbang timur dari kampung Menutup rangkaian upacara kematian Hae Awu dilakukan malam hari, dengan upacara raja daru amu memaku rumah, yang diperuntukkan hanya diantara anggota keluarga almarhum. Bagian-bagian rumah yang penting ditancapi ruhelama daun selamat, yakni daun lontar yang disilang-silangkan dan dipaku dengan lidi. Dengan memaku ini dimaksud seluruh rumah dan penghuninya dilindungi dari kematian, agar tidak melanda lagi. iii. Upacara Para Ki’i Dalam upacara memotong kambing ini, segera sesudah penderita penyakit meninggal dilakukanlah upacara pemberian air minum minyak perjalanan juga, yang dicampur dengan 3 butir beras dalam tempurung minuman baru dengan sendok tempurung yang baru pula. Seekor ayam dibunuh pula, dengan cara dilubangi untuk diambil hatinya. Jika pihak keluarga almarhum cukup kaya, maka juga akan disembelih anak babi dan anak kambing. Pembawa berita kematian tidak boleh masuk begitu saja ke rumah atau kampung pemimpin upacara. Ia akan berdiri di luar pagar kampong sambil mengabarkan kabar 74 Gambar diambil dari dari buku Nico, L. Kana, Dunia Orang Sabu, Jakarta Timur Sinar Harapan, 1983, 46 dukacita tersebut. Rasa dukacita dinyatakan tuan rumah dengan berdiri dipagar kampung sambil melemparkan telur dan abu dalam terpurung kearah gerbang. Tindakan ini disebut lole awu tabe kolo mambawa abu menerpa kepala. Ia lalu meletakkan sedikit irisan daging kerbau dan kacang hijau dan gemuk babi campur air dingin di batu khusus. Hari ke-2 dua dilangsungkan upacara peraba kebao saling merampas kerbau. Hewan yang dibunuh itu direbut dagingnya beramai-ramai oleh hadirin. Hal ini konon untuk menandai kekayaan keluarga almarhum. Esoknya dilakukan upacara pemo memberisihkan. Esoknya lagi istirahat dan hari ke-5 lima diselenggarakanlah upacara haga yang juga diikuti upacara pemanggilan roh yang hidup dan akhirnya menanyai tombak. Sesudah itu baru dilakukan penutupan kembali dinding di bagian anjungan rumah atau labu laba pebare. Untuk upacara penutupan dinding itu Deo Rai diundang ke rumah almarhum untuk menyembelih kambing buat upacara. Ada kalanya ini diikuti dengan mencelupkan buah lontar ke dalam cairan mengkudu lalu mengusir roh orang mati ke luar rumah itu dengan mengibas-ibaskan daun waru ke pelbagai penjuru. iv. Upacara Tao Leo Yang disebut upacara kematian “membuat rumah atar teratak” ini paling kompleks penyelenggaraannya karena paling tinggi kedudukannya. Untuk itu didirikan teratak tempat orang-orang menari. Sambil menanti kedatangan orang-orang yang diundangi, jenazah dimandikan, diolesi minyak dan “bakar pusar”, dibungkus sarung atau selimut atau dibaringkan tepat di bagian batas anjungan dan buritan rumah. Anak babi dan anak kambing kemudian dilubangi hatinya dan diikuti pemberian minuman “minyak perjalanan” bagi almarhum. Hewan-hewan persembahan itu disajikan buat para leluhur, sedangkan pemberian minuman dilakukan sampai 3 tiga kali sambil diiringi penendangan 3 tiga kali pula 47 dinding anjungan. Tindakan ini melambangkan pengusiran kekuatan wango dari dalam rumah. Sesudah itu semua perhiasan dan pakaian dikenakan pada jenazah. Hal ini dikarenakan si mati sedang dalam perjalanan ke dunia gaib dan karena itu dianggap perlu berdandan sebaik mungkin. Bahkan harus diolesi agar bau tubuhnya pun harum. Sesudah siap pemimpin upacara lalu melakukan upacara “penembakan” dengan bedil tua yang pucuknya diarahkan ke barat. Maka menyusullah pembuatan leo dapi = teratak tikar yang bahannya terdiri dari 2 dua batang kayu dadap atau aju kare, sembilan tiang dan kayu-kayu palang, dinding anjungan, sehelai tikar kecil serta sejumlah tikar lebar. Dinding dan tikar kecil itu dilambangkan sebagai layar perahu. Pemasangan teratak ini didahului oleh makan bersama, yakni berlauk kerbau atau ditambah dengan daging babi. Hari ke-2 dua, fajar menyising, teratak harus diberi “makan” dan disebut pengaa’leo depi. Untuk dipotong seekor kerbau dan seekor babi. Sesudah itu sarapan bersama pun dilakukan dan disambung dengan tari-tarian sampai malam hari. Pada malam hari ke-3 tiga dilangsungkan oro rai jelajahi tanah menceritakan kebaikan almarhum atau pun orang-orang dalam garis keturunan lelaki dari almarhum, yang sudah mati. Hari ke-4 empat diundang orang yang melakukan upacara huri mada dere mencoret mata gendang; yang dimaksud ialah kulit tambur yang ditabuh. Mata gendang dan sejumlah gong kemudian dicoret dengan tanda silang +. 48 Gambar 5. Upacara Huri Made Dere pada waktu kedukaan. 75 Pemberian tanda + pada gendang ialah bagian dari upacara yang berlangsung sampai berhari-hari. Sekalipun demikian, upacara ini sering berlangsung dengan khidmat Saat mencoreti gendang si pelaku mengucapkan mantra, li mangau, bagi almarhum dan tokoh leluhur mitis bernama Ago Rai yang dianggap datang menjemput almarhum. Sesudah itu dilanjutkan dengan banyo, lagu duka. Sesudah itu dilangsungkan kata-kata hiburan dan pujian bagi para pelayat. Hari ke-5 lima masih dilanjutkan dengan tarian di bawah teratak. Menjelang sore hari berlangsung upacara perebutan daging kerbau sembelihan. Sebelum dipotong hewan- hewan itu, lazimnya 2 dua ekor kerbau dan seekor kuda, oleh pemimpin upacara diberi kelapa harum di telinganya sambil diriingi pengucapan mantra. Hari ke-6 enam ialah lodo pemo, hari pembersihan dan penutupan dinding anjungan. Dilanjutkan dengan memakan makanan sisa. Sedangkan haru ke-7 tujuh, hari terakhir, diisi dengan memaku erat-erat, raje pebare, dan memaniskan semua tempat yang telah digunakan untuk upacara dengan menyirami dengan air gula lontar. Mantra yang diucapkan selain memohon berakhirnya 75 Gambar diambil dari dari buku Nico, L. Kana, Dunia Orang Sabu, Jakarta Timur Sinar Harapan, 1983, 49 kematian buat rumah itu juga sekaligus buat pemeberkahan bagi seisi rumah yang ditinggal si mati. Analisa Dari penjelasan diatas, jelas terlihat ada banyak sekali proses atau ritual yang dilakukan jika ada anggota keluarga yang meninggal. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk orang yang telah meninggal tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan. Dari pihak keluarga yang masih hidup diperlukan tindakan ritual agar yang anggota keluaga yang sudah meninggal terjamin keadaannya “di alam sana” dan pihak yang hidup tidak dilanda “pengaruh buruk” baik itu perasaan dan kehilangan identitas, atau mendapat gangguan roh si mati akibat suatu kematian melainkan memperoleh berkat. 76 Dalam tahapan ritual untuk Made Nata mati manis, terdapat lima bentuk upacara yang dapat dipilih oleh keluarga. Penetapan jenis upacara yang dilakukan tergantung pada potensi ekonomi keluarga dari yang meninggal tersebut dan hubungan antara orang yang meninggal dengan sanak saudara, handai taulan dan kenalan baik atau tidak. Dari sini terlihat bahwa hubungan atau relasi yang baik antara sesama manusia sangat diperhitungkan. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat Sabu tentang hakikat manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri sehingga membutuhkan pihak lain seperti, manusia lain, alam serta kekuatan gaib sehingga relasi yang baik antar sesama manusia sangat diperhatikan. Dari kelima bentuk upacara yang dilakukan terdapat persamaan tindakan pertama dalam memulai proses ini, yaitu jenazah diberi minum ai lango jara air minum perjalanan. Penulis melihat hal ini dikarenakan arti atau makna kematian bagi orang Sabu adalah sebuah perjalanan menuju alam gaib untuk berkumpul dengan para leluhur. Arwah 76 Ninik Dwiyantu S., Pengaruh Adat Tionghoa di Sekitar Kematian dalam Kehidupan Bergereja- Skripsi Salatiga Universitas Kristen Satya Wacana, 1990 hal. 30 50 orang yang meninggal tidak langsung akan berkumpul dengan para leluhur karena arwah para leluhur tidak berada di pulau Sabu tetapi di Yuli Haha tanjung Sasar dekat pulau Sumba. Oleh karena itu perlu di beri minum ai lango jara untuk bekal menuju alam gaib. Sama halnya ketika keluarga memberi satu uang koin logam ke mulut jenazah, ataupun memakaikan pakaian adat yang bagus serta didalam petinya ditaruh sarung ataupun selimut, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberi bekal bagi orang yang telah meninggal untuk digunakan di alam gaib. Dalam budaya Sabu, biasanya ada yang masih memberikan atau menyediakan makanan bagi orang yang telah meninggal, hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa orang yang sudah meninggal itu masih ada. Jika ada anggota keluarga yang bermimpi bertemu dengan orang yang telah meninggal maka keluarga merasa ada yang ingin disampaikan oleh orang yang telah meninggal itu atau merasa bahwa orang yang telah meninggal tersebut sedang merasa lapar sehingga perlu diberi atau disediakan makanan. Dalam budaya Sabu, yang membawa satu barang atau hantaran bagi orang yang meninggal biasanya per satu desa bukan perorangan. Hal ini berbeda dengan kebudayaan orang Sabu yang telah tinggal diluar Sabu. Mereka biasanya membawa hantaran secara pribadi bukan kelompok. Pada waktu dilakukan pemotongan hewan yang merupakan hantaran dari keluarga, maka bagian kepala, dada dan isi perut di bawa kembali oleh tuan atau pemilik binatang, sedangkan sisanya diberikan kepada keluarga yang berduka. Barang atau hewan antaran dari keluarga atau kenalan akan dicatat sehingga ketika keluarga tersebut mengalami pesta atau acara lain termasuk kematian maka akan “dibalas” kembali oleh keluarga yang telah diberikan hantaran tersebut. Barang yang dibawa tidak harus sama baik jumlah atau pun jenisnya, tetapi hal ini dilakukan agar saling mengingat satu sama lain atau biasa disebut sistem balas jasa, sehingga apa yang kita lakukan kepada orang lain, maka hal itu yang akan di tambahkan pada kita. 51 Dalam buku Dunia Orang Sawu, Kana mengatakan bahwa kubur orang yang mati secara wajar ialah dibawah kolong balai-balai tanah atau disebut Kelaga Rai. Bila lelaki, maka kuburannya ditempatkan di bagian anjungan depan, sedangkan perempuan dikubur di bagian buritan belakang. Liang kubur bagi kematian manis berbentuk lubang melingkar. Jenazah dibaringkan pada sisi badan dengan lutut tertekuk ke dada, bagian depan jenazah lelaki diarahkan ke barat sedangkan perempuan ke timur. Hal ini melambangkan keadaan manusia di dalam rahim ibu, karena tanah merupakan lambang sosok seorang ibi. Adapun kuburan untuk kematian asin berbentuk persegi empat, terletak memotong arah panjang rumah di bagian sisi anjungan. Jenazah orang mati asin dikubur terlentang dengan kepala terletak kearah bagian depan rumah yang dipilin sedemikian rupa sehingga wajahnya menghadap ke bawah. 77 Jika berbicara tentang kuburan orang Sabu yang sederhana dan berada di bawah beranda rumah serta tidak banyak ornamen atau penanda yang menandakan adanya kuburan, penulis menilainya sebagai sebuah sikap sederhana sehingga mereka tidak menghias kuburnya dengan banyak ornamen. Selain itu adanya anggapan bahwa orang mati tersebut masih ada bersama-sama dengan keluarga sehingga mereka menguburnya di bawah beranda rumah agar sosoknya dirasa tetap tinggal bersama dengan mereka. Hal ini berpengaruh pada tindakan mereka yang masih memberikan makan untuk orang yang meninggal karena dianggap orang tersebut masih ada bersama-sama dengan mereka. Pada penjelasan-penjelasan diatas jelas terlihat bahwa adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Namun sebelumnya penulis ingin memaparkan sedikit tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan orang Sabu. Dalam pandangan Orang Sabu, perempuan ternyata memiliki tempat yang tinggi. 78 Mereka sering mengumpamakan 77 Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, Jakarta Timur Sinar Harapan, 1983 , 78 Ibid, hal. 23-24 52 matahari sebagai laki-laki sedangkan perempuan sebagai bulan, ataupun bumi sebagai laki- laki dan laut sebagai perempuan. Dalam pembagian kerja yang berdasarkan jenis kelamin di Sabu pada hakikatnya bukan karena laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada pihak perempuan, akan tetapi yang ingin ditonjolkan dengan adanya pembagian kerja adalah sifat keduanya saling melengkapi satu dengan yang lain, sehingga bersifat sederajat dan selaku teman sekerja. Hal ini sama dengan ajaran Kristen tentang kedudukan perempuan dan laki-laki dalah hal rumah tangga bahwa suami dan istri memiliki hubungan yang setara atau sebagai mitra kerja. Padahal pandangan orang Sabu tentang kedudukan perempuan telah ada jauh sebelum mereka mengenal agama Kristen. Penulis melihat adanya kesamaan antara ajaran orang Sabu dan ajaran agama Kristen. Bagi orang Sabu yang sudah tidak menetap lagi di pulau Sabu, biasanya tidak lagi melakukan ritual tersebut secara penuh. Mereka biasanya hanya melakukan ritual Huhu Kebie, “memberi makan” orang yang telah meninggal, atau pun menutupi jenazah dengan sarung perempuan dan selimut lelaki sesuai dengan strata sosial keluarga masing- masing. Ada pun yang masih memberikan sarung, selimut atau pun pakaian ke dalam peti jenazah sebagai bekal di dunia gaib. Dari pemaparan diatas juga dapat diidentifikasi bahwa pendampingan pastoral tidak hanya dilakukan oleh orang yang telah ahli atau profesional tetapi pendampingan pastoral lebih luas maknanya yaitu dapat dilakukan oleh siapa saja orang Kristen yang mau membantu orang lain baik yang ada didalam komunitas atau lingkungannya atau pun yang tidak. Hal ini dikarenakan pendampingan pastoral terutama mengacu pada semangat, tindakan, memedulikan dan mendampingi secara generik. Selain itu juga, jika kita melihat ritual yang dilakukan pada suku Sabu maka terlihat hampir sama dengan masyarakat tradisioanal lainnya, yaitu semua orang dalam lingkungan 53 atau komunitas terbesar atau dalam masyarakat dan komunitas terkecil atau keluarga inti dapat melakukan pendampingan. Jadi mereka saling menguatkan satu dengan yang lain sehingga keluarga yang berduka tidak merasa sendiri dalam kedukaannya, karena ada banyak orang yang memperdulikan kesedihannya. Oleh karena itu penulis ingin melihat bahwa sikap memedulikan sangat penting manfaatnya bagi orang yang sedang mengalami krisis. Sikap ini merupakan jalan masuk bagi seseorang yang ingin melakukan pendampingan pastoral. Hal ini di dapat penulis ketika melakukan observasi atau wawancara terhadap beberapa informan. Mereka sangat merasakan perhatian yang besar dari keluarga dan teman yang datang menunjukkan rasa peduli mereka terhadap kedukaan orang yang berduka sehingga mereka tidak berlama-lama dalam kedukaannya. Dari kelima jenis upacara tersebut yang telah dipaparkan diatas, maka terlihat bahwa ada makna pendampingan pastoral tidak langsung yang dilihat oleh penulis. Berikut ini akan dipaparkan beberapa temuan penulis tentang adanya makna pendampingan pastoral pastoral tidak langsung dalam ritual adat yang dilakukan, yaitu 1 Menyembuhkan Healing, yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Penulis melihat fungsi ini didalam proses yang ada dalam ritual kematian suku Sabu. Seperti dalam ritual Huhu Kebie, dimana selain mengucapkan silsilah keturunan dari orang meninggal juga ada syair yang menunjukan bahwa hidup harus terus berlanjut sehingga tidak usah bersedih terlalu lama. Menurut penulis dalam ritual ini, keluarga mendapatkan fungsi pastoral menyembuhkan dari orang yang bisa melakukan ritual huhu kebie, karena secara tidak langsung dapat orang yang melantunkan syair itu telah memberikan semacam motivasi untuk terus 54 melanjutkan hidup karena kita yang hidup telah hilang ketergantungan dengan orang yang telah mati. 2 Menopang Sustaining, yaitu suatu fungsi pastoral yang menolong orang yang “terluka” untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang didalamnya terdapat pemulihan terhadap kondisi semula. Penulis melihat hal ini lewat kedatangan keluarga, kenalan dan handai taulan yang datang secara bersama-sama. Secara tidak langsung memberikan fungsi pastoral menopang agar keluarga yang berduka dapat bertahan di dalam masa berkabungnya. 3 Dalam ritual ini, penulis juga melihat fungsi memberdayakan empowering yang oleh Totok S. Wiryasaputra dalam buku Ready to Care 79 adalah untuk membantu orang yang didampingi menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada masa depan ketika menghadapi kesulitan kembali. Bahkan, fungsi ini juga dipakai untuk membantu seseorang menjadi pendamping bagi orang lain. Hal ini tampak dalam keseluruhan ritual kematian yang dilakukan, yaitu bahwa orang yang datang ke rumah duka dan melihat ritual tersebut dilakukan maka mereka melihat dan menyaksikan sendiri bahwa keluarga yang berduka di bantu oleh kelompoknya untuk bisa bertahan dalam masa berduka dan ada rasa kekeluargaan yang tampak sehingga ketika kedukaan itu terjadi pada mereka, mereka telah mengetahui cara untuk bertahan dikala duka dan bisa memakai beberapa makna dari ritual ini untuk membantu orang lain yang sedang berduka. b Made Haro Mati Asin Dalam jenis Made Haro mati asin, maka akan diterima dengan menggunakan adat, yaitu dengan menggunakan genua bawang putih dan gula Sabu. Orang yang melayat pun 79 Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care., 92-93 55 tidak diperbolehkan makan makanan di tempat orang yang meninggal, karena jika dilanggar maka akan ada dampak yang ditimbulkan seperti hewan ternak yang akan mati secara tiba- tiba. 80 Made Haro atau mati tidak layak, contohnya kematian yang disebabkan karena kecelakaan, yang meninggal karena bersalin dan lain-lain sehingga harus segera dikubur. Oleh karena hanya orang-orang tertentu yang boleh melayat. Orang yang melayat akan menerima makanan dari luar dan 3 tiga hari 3 tiga malam baru boleh kembali dari rumah. Yang mengatar makanan hanya boleh mengantar makanan sampai di depan Darra Roe atau pintu gerbang saja. Mayat orang yang mati karena kecelakaan, dikuburkan diluar rumah dan bentuk kuburannya persegi panjang. Upacara ini disebut Rue, sedangkan pada upacara kematian orang yang meninggal secara lazim atau biasa, mayatnya dibungkus dengan selimut adat dan dikuburkan dalam posisi jongkok dengan dibekali bahan makanan, sirih dan buah pinang. 81 Dalam budaya orang Sabu, jika yang meninggal adalah orang tua, maka pestanya akan sangat mewah apabila di bandingkan dengan anak muda. Hal ini dilakukan untuk memberikan penghormatan kepada yang meninggal. Jika yang meninggal adalah trurunan raja atau para bagsawan maka acara kematian bisa dilakukan sampai 3 tiga bulan atau 1 satu tahun. Dalam budaya orang Sabu, ada proses dari ritual yang dilakukan adalah menangis sambil melantunkan syair yang disebut Huhu kebie yang adalah cerita tentang silsilah keluarga keturunan. Orang yang melakukan Huhu kebie adalah orang yang secara kodrati atau alamiah dapat melakukannya atau yang biasa disebut dengan istilah karunia. Biasanya dilantunkan oleh dua atau lebih orang. 80 Hasil wawancara dengan bapak YB 60 tahun, pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul WITA 81 http 56 Pada waktu meratapi jenazah, orang yang melakukan Huhu kebie akan dibungkus atau ditutupi dengan kain atau mereka menyebutnya dengan kata selimut. Dalam Huhu kebie, silsilah yang dilantunkan adalah garis keturunan ibu dan bapak. Silsilah yang dilantunkan biasanyanya sangat panjang, dimulai dari silsilah orang yang meninggal sampai pada turunan yang pertama. 82 Orang coba susun silsilah tapi tidak mengetahuinya secara pasti atau persis, mereka bisa mendapakan kesialan atau celaka. 83 Dalam budaya Sabu, jika suami dari saudara perempuan meninggal, maka setelah acara penguburan, pada malam harinya saudara laki-laki dari perempuan atau istri dari suami yang meninggal, dapat meminta agar saudara perempuanya dibawa pulang mengikuti mereka. Akan tetapi jika anak-anak mereka tidak setuju maka mereka akan berkata, “Mama punya air susu belum kering, jadi kita masih mau mama ada bersama-sama dengan kita”, artinya mereka masih membutuhkan kasih sayang dari ibu mereka. Sedangkan bagi keluarga dari suami yang telah meninggal itu akan berkata, “kita ambil dia ibuistri dengan baik-baik, maka jika dia sedang mengalami masalah dan kehilangan, kita tidak bisa melepaskan dia begitu saja”. Hal ini wajib dilakukan karena merupakan aturan adat. Jika orang Sabu yang meninggal di luar pulau Sabu, maka akan dibawa rambut dari orang yang telah meninggal, namun sekarang barang yanga dibawa bisa berupa foto atau pun pakaian. Ritual ini disebut Ru’ Ketu. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada keluarga di Sabu bahwa salah satu anggota keluarga mereka ada yang telah meninggal. Selain itu 82 Hasil wawancara dengan WD 66 tahun, pada hari rabu, 19 Oktober 2011, pukul wita, di kediaman bapak WD 83 Hasil wawancara dengan bapak DTB 40 tahun, pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul WITA 57 dalam budaya Orang Sabu, setiap orang Sabu adalah milik tanah Sabu. Di manapun dia bepergian wajib baginya untuk kembali ke kampung halamannya. Penjemputan terhadap Ru’ Ketu dilakukan dengan menggunakan adat. 84 Dalam buku Dunia Orang Sabu Nico L. Kana, disebutkan pula tentang proses ritual bagi Made Haro. Jika misalnya kematian asin ini karena korban jatuh dari pohon lontar, maka ia diangkut dengan tandu yang terbuat dari pelepah lontar yang disebut kelaga apa balai-balai pelepah ke kampung. Para pengiring jenazah, di sepanjang jalan menyanyikan nyanyian Hida Ngara, Rai Seruan Nama Tuhan menabur-naburkan biji jagung dan kacang hijau. Penanduan secara demikian itu dibolehkan jika kematian itu terjadi sesudah dilakukan upacara penutupan tungku masak gula lontar, yaitu upacara yang menandai berakhirnya masa kegiatan kerja yang dianggap penting dan kritis. Apabila kematian asin ini terjadi pada masa kegiatan memasak gula, maka penanduan korban ke kampung tidak boleh dilakukan sambil menyanyi seperti disebutkan tadi. Cara memasukkannya di kampung pun berbeda. Bukan lewat gerbang kampung akan tetapi melangkahi pagar karang. Ini disebut lila lau paga biri terbang pagar langkahi pagar. Pada hari ke-3 tiga diadakan lagi upacara “memaniskan” namun dipimpin Deo Rai. Juga buat dia diserahkan 7 tujuh ekor hewan rumah. Ia disambut dengan suguhan sirih pinang. Di rumah almarhum dipotong pula seejor babi untuk makan bersama warga atau disebut senga’a pana. Babi yang disembelih itu disebut wawi luna nyiu nata babi keramas manis. Dengan ini keadaan wajar dikembalikan lagi di antara mereka. Upacara yang kemudian menyusuli ialah seperti yang ada pada kematian biasa, yakni membersihkan, kemudian haga, diteruskan dengan “memaku rumah”. Dengan demikian lengkaplah mati asin itu menjadi mati manis. 85 84 Hasil wawancara dengan WD 66 tahun, pada hari rabu, 19 Oktober 2011, pukul wita, di kediaman bapak WD. 85 Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, Jakarta Timur Sinar Harapan, 1983 , hal. 68-73 58 Analisa Dalam ritual kematian suku Sabu untuk jenis mati asin made haro, penulis melihat adanya fungsi pastoral 1 Menyembuhkan Healing, yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini jelas terlihat dari keseluruhan proses mati asin made haro, yang adalah mati secara tidak wajar atau karena kecelakaan sehingga mereka melakukan ritual “memaniskan” kembali keadaan yang telah rusak agar orang telah meninggal tersebut dapat diterima untuk berkumpul dengan para leluhur di alam gaib. Selain itu juga dapat memberikan “kesembuhan” secara batin yang terluka akibat kematian anggota keluarga secara tidak wajar serta menormalkan segala hal yang telah “asin” ke keadaan semula. 2 Mendamaikan Reconciling, yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan Allah. Hal ini menurut penulis karena hubungan manusia dan sesama serta Tuhannya telah terluka akibat kematian yang tidak wajar sehingga dalam segala bentuk ritual mati asin made haro dilakukan proses memaniskan kembali ke keadaan semula sehingga hubungan atau relasinya dapat tejalin lagi. Gambar 6. Tetan Disini juga terlihat ba membutuhkan satu sama lain d dengan alam dan Tuhan. Sehin keadaan yang menimpa kita penjelasan di bab II dua terlih fisik, aspek mental, aspek spiri dapat melihat bahwa semua a manusia yang satu dengan ya manusia dapat menolong satu d Sama halnya dengan ad melayat untuk tidak makan di menurut penulis mereka mem mendapatkan kesialan yang sa lain begitu jelas terlihat. Akan t 86 Gambar diambil dari dari buku Nico, 59 tangga dan Kerabat berdatangan ketika terjadi kema bahwa manusia adalah makhluk sosial yang n dan memiliki relasi tidak hanya dengan sesama hingga hubungan baik itu harus terus terjaga sehi ta ada banyak tangan yang datang menolong. rlihat bahwa manusia memiliki empat aspek utama iritual dan aspek sosial yang ada dalam dirinya. D a aspek harus diperhatikan secara baik sehingga yang lain saling melengkapi. Dengan menyada u dengan yang lain. adat mereka yang tidak memperbolehkan orang di tempat atau rumah duka selain karena takut mementingkan atau mempedulikan satu sama lai sama. Disini terlihat bahwa sikap memperdulika n tetapi bukan berarti dengan tidak membiarkan or o, L. Kana, Dunia Orang Sabu, Jakarta Timur Sinar Harap ematian 86 g hidup saling ma, tetapi juga ehingga apapun . Seperti pada ma, yaitu aspek a. Dari sini kita gga keberadaan adari ini maka ng yang datang ut sial, adat ini lain agar tidak likan satu sama orang lain ikut rapan, 1983, 60 sial, mereka membiarkan orang yang meninggal tidak diurus karena takut sial tetapi mereka tetap melakukan setiap prosesnya agar kematian yang tidak wajar tersebut dapat dimaniskan kembali agar dapat diterima dengan baik oleh para leluhur dan mempermudah jalan menuju alam gaib. 3. 2. 2. Pemau Do made, meretas jalan menuju nirwana Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1 Pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara. 2 Faktor penghambat pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Adapun jumlah informan pada penelitian ini sebanyak 10 orang yang ditentukan menggunakan teknik snowball sampling di mana penentuan informan berikutnya ditemukan berdasarkan rujukan dari informan sebelumnya, dengan kriteria merupakan masyarakat yang berdomisili di Toraja Utara dan memiliki anggota keluarga yang meninggal karena covid-19. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni observasi, wawancara dan dokumentasi dengan member check sebagai teknik keabsahan data. Adapun teknik analisis data pada penelitian ini antara lain reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 Pelaksanaan ritual kematian kelurga korban covid-19 di Toraja Utara adalah dengan melalui ritual adat Ma'palin yang merupakan proses pemindahan orang yang telah meninggal dari dalam tanah dan dipindahkan ke dalam patane, yang dilaksanakan selama tiga hari yang meliputi a Hari pertama merupakan hari untuk melakukan penggalian mayat yang dikubur sebelumnya ke tanah, dan kemudian dibungkus dengan kain merah kaseda. b Hari kedua dilakukan pembakaran atau persembahan hewan kurban berupa kerbau dan babi maupun hewan lainnya seperti ayam. c Hari ketiga merupakan hari di mana dilakukan proses pemindahan mayat yang telah dibakar dengan kain kaseda ke dalam patane. 2 Faktor-faktor penghambat pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara adalah a Adanya aturan pemerintah yang tidak mengijinkan kegiatan atau acara besar-besaran yang menghadirkan banyak orang dan b Dikucilkan oleh masyarakat setempat. Kata Kunci Ritual kematian dan korban covid-19. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kesatuan dengan beragam budaya, ras, agama dan juga adat istiadat. Sebagian besar daerah di Indonesia memiliki adat tersendiri yang berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini merupakan suatu bentuk dari keberagaman budaya yang mana masyarakatnya memiliki hak dan kebebasan untuk Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 PELAKSANAAN RITUAL KEMATIAN KELUARGA KORBAN COVID 19 DI TANA TORAJA Oleh Jelsita Banna1, Muhammad Syukur2 1,2Program Studi pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar Email jelsitabanna30 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1 Pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara. 2 Faktor penghambat pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Adapun jumlah informan pada penelitian ini sebanyak 10 orang yang ditentukan menggunakan teknik snowball sampling di mana penentuan informan berikutnya ditemukan berdasarkan rujukan dari informan sebelumnya, dengan kriteria merupakan masyarakat yang berdomisili di Toraja Utara dan memiliki anggota keluarga yang meninggal karena covid-19. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni observasi, wawancara dan dokumentasi dengan member check sebagai teknik keabsahan data. Adapun teknik analisis data pada penelitian ini antara lain reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 Pelaksanaan ritual kematian kelurga korban covid-19 di Toraja Utara adalah dengan melalui ritual adat Ma’palin yang merupakan proses pemindahan orang yang telah meninggal dari dalam tanah dan dipindahkan ke dalam patane, yang dilaksanakan selama tiga hari yang meliputi a Hari pertama merupakan hari untuk melakukan penggalian mayat yang dikubur sebelumnya ke tanah, dan kemudian dibungkus dengan kain merah kaseda. b Hari kedua dilakukan pembakaran atau persembahan hewan kurban berupa kerbau dan babi maupun hewan lainnya seperti ayam. c Hari ketiga merupakan hari di mana dilakukan proses pemindahan mayat yang telah dibakar dengan kain kaseda ke dalam patane. 2 Faktor-faktor penghambat pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara adalah a Adanya aturan pemerintah yang tidak mengijinkan kegiatan atau acara besar-besaran yang menghadirkan banyak orang dan b Dikucilkan oleh masyarakat setempat. Kata Kunci Ritual kematian dan korban covid-19. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kesatuan dengan beragam budaya, ras, agama dan juga adat istiadat. Sebagian besar daerah di Indonesia memiliki adat tersendiri yang berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini merupakan suatu bentuk dari keberagaman budaya yang mana masyarakatnya memiliki hak dan kebebasan untuk Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 mengembangkan dan mewariskan budaya atau adat yang mereka miliki tanpa merusak tatanan sosial yang ada. Sebagaimana merujuk pada UU No. 6 Pasal 18 B ayat 2 Tahun 2014 tentang desa dalam Ilyasa, 2020 menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional hanya pada dalam sistem hukum Indonesia. Artinya masyarakat bebas memiliki adat istiadat yang sesuai dengan undang-undang yang dihormati dan dijunjung tingi. Di mana adat tersebut diakui keberadaannya dan direalisasikan sesuai dengan kepercayaan masyarakatnya. Secara umum adat istiadat tidak bisa dipisahkan dari tradisi. Tradisi sendiri merupakan suatu bentuk kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Menurut Van Reusen dalam Rofiq, 2019 berpendapat bahwasannya tradisi ialah sebuah peninggalan ataupun warisan ataupun aturan-aturan, ataupun harta, kaidah- kaidah, adat istiadat dan juga norma. Akan tetapi tradsisi ini bukanlah sesuatu yang tidak dapat berubah, tradisi tersebut malahan dipandang sebagai keterpaduan dari hasil tingkah laku manusia dan juga pola kehidupan manusia dalam keseluruhannya. Dari pendapat yang telah diuraikan dapat dijelaskan bahwa tradisi merupakan warisan leluhur yang dilakukan turun temurun dan menjadi kebiasaan yang melekat pada kehidupan masyarakat, di mana tradisi ini menjadi bagian dari budaya masyarakat dan dipercaya dan dilaksanakan dari generasi ke generasi. Di Indonesia sebagian besar daerahnya memiliki tradisi yang beragam salah satunya yaitu daerah Tana Toraja. Toraja dikenal dengan tradisi yang sangat beragam dan unik terutama pada ritual kematian yang dikenal dalam bahasa Toraja sebagai rambu solo’. Ritual kematian merupakan salah satu bentuk cara yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat pada daerah tertentu untuk menghormati arwah orang yang telah meninggal. Ritual kematian rambu solo’ pada masyarakat Toraja yang merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun sebagai salah satu ritus yang sangat dijunjung dan diyakini oleh masyarakat sebagai bentuk penghormatan bagi orang-orang yang telah meninggal terlebih kaum keluarga atau kerabat. Menurut Suhamihardja dalam Naomi et al., 2020 suku Toraja terkenal sebagai suku yang masih memegang teguh adat. Setiap pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu pantangan, apalagi dalam upacara kematian. Pada umumnya upacara kematian atau pemakaman adat rambu solo’ dilakukan dengan besar-besaran karena, anggapan masyarakat Toraja apabila rambu solo’ diadakan semakin meriah, dan banyak harta dikorbankan maka semakin tinggi status sosial orang yang meninggal. Kebanyakan yang melakukan hal itu adalah golongan-golongan bangsawan dan golongan bangsawan menengah. Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 Sehingga dapat dijelaskan bahwa adat merupakan sesuatu yang sakral yang mana dalam pelaksanaanya harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku dari adat itu sendiri. Salah satu adat yang masih kental di Tana Toraja adalah upacara kematian rambu solo’ yang mana dalam pelaksanaannya dilakusan berdasarkan tingkat kemampuan dari pihak keluarga. Rambu solo’ merupakan ritus tertinggi dalam upacara ritual masyarakat Toraja, yang pada umumnya memiliki tujuan untuk memberikan penghormatan dan mengantarkan arwah dari orang-orang yang telah meninggal. Paganggi, 2020 menjelaskan Rambu solo’ sebagai sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagi tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun ini, mewajibkan keluarga yang ditinggal untuk melakukan upacara terakhir bagi mendiang. Upacara ini bagi masing- masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa rambu solo’ merupakan tradisi yang dilaksanakan dalam rangka memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal yang pelaksanaannya dilakukan pada sore hari yakni ketika matahari mulai terbenam dan dilaksanakan dengan meriah dan dihadiri banyak orang terutama kerabat-kerabat keluarga dari orang yang meninggal. Prosesi ritual rambu solo’ dilaksanakan dengan mahal, di mana diyakini bahwa semakin banyak biaya yang digunakan maka semakin megah pula ritualnya Ihsan & Syukur, Pada awalnya prosesi ritual rambu solo’ hanya dilaksanakan bagi kaum bangsawan tetapi seiring waktu, bukan hanya kaum bangsawan yang melaksanakan ritual rambu solo’ ini melainkan siapapun yang memiliki cukup harta bisa melaksanakan ritual rambu solo’. Pelaksanaan ritual kematian rambu solo’ ini sudah menjadi tradisi yang melekat pada masyarakat Toraja, sehingga tidak heran jika sering ditemui acara kematian pada masyarakat Toraja. Upacara ritual rambu solo’ selalu dihadiri oleh khalayak banyak bukan hanya kaum keluarga saja. Pelaksanaan ritual umumnya dilaksanakan secara besar-besaran dan meriah serta dihadiri oleh banyak orang sehingga tidak heran jika ritual ini memakan banyak biaya. Hidayah dalam Rusdiana, menjelaskan tradisi pemakaman Rambu Solo’ merupakan salah satu upacara adat di Tana Toraja yang diwariskan oleh leluhur kepada generasi penerusnya hingga saat ini. Upacara ini dilakukan sebagai tanda penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal. Tradisi Rambu Solo didasari oleh kepercayaan masyarakat Toraja Dahulu dalam melaksanakan ritual rambu solo’ biasanya didasarkan pada status sosial masyarakat Toraja yakni terdiri dari empat tingkatan, yang pertama tana’ bulaan yaitu golongan bangsawan, kedua tana’ bassi yaitu golongan bangsawan Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 menengah, ketiga tana’ karurung yaitu rakyat biasa/rakyat merdeka, dan yang keempat adalah tana’ kua-kua di mana mereka adalah golongan hamba. Menurut Tangdilintin dalam Patadungan et al., 2020 tingkatan dalam upacara rambu solo’ menunjukkan strata sosial masyarakat. Tingkatan tersebut memiliki empat macam yaitu 1 upacara Dasilli’ merupakan upacara pemakaman level paling rendah dalam aluk todolo merupakan nilai-nilai kepercayaan yang dianut orang toraja atau secara khusus dapat disebut sebagai animisme Pasanggara dalam SESA, 2022. Upacara ini untuk strata terendah dan untuk anak yang belum bergigi. 2 upacara Dipasangbongi merupakan upacara untuk rakyat biasa/rakyat merdeka Tana’ karurung, upacara ini hanya memerlukan waktu satu malam; 3 upacara Dibatang atau Digoya Tedong merupakan upacara untuk bangsawan menengah Tana’ bassi dan bangsawan tinggi yang tidak mampu. 4 upacara Rampasan merupakan upacara untuk bangsawan tinggi tana’ bulaan. Namun demikian seiring dengan perkembangan ekonomi status sosial berdasarkan kedudukan dan keturunan tidak lagi menjadi acuan dalam pelaksanaan rambu solo’ melainkan siapapun yang merasa mampu dan memiliki harta dapat melaksanakan ritual rambu solo’. Namun perayaan ritual rambu solo’ sudah tidak lagi dilaksanakan dibeberapa tempat di Toraja Utara, hal ini dikarenakan adanya kendala utama yaitu Covid 19 yang sejak februari 2020 yang mengakibatkan banyak aktivitas yang dibatasi terutama dalam hal perayaan ritual kematian rambu solo’ karena adanya kegiatan berkerumun dan berkumpul. Haq et al., 2020 menjelaskan peraturan pemerintah mengenai pembatasan sosial sebagai berikut “Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 Covid-19 ditetapkan pada 31 Maret 2020”. Pemerintah Daerah Pemda dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar PSBB untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu. PSBB dilakukan dengan pengusulan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Menteri Kesehatan. Selain itu aturan untuk membatasi gerak sosial juga tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19 ditetapkan pada 3 April 2020. Dari pernyataan di atas dapat dijelakan bahwa pembatasan sosial merupakan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiri guna mencegah penyebaran virus corona dari aktivitas sosial masyarakat mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten atau kota. Hairi, 2020 menegaskan bahwa “kebijakan PSBB antara lain 1 Peliburan sekolah dan tempat kerja; 2 Pembatasan kegiatan keagamaan; 3 Pembatasan kegiatan di tempat/fasilitas umum; 4 Pembatasan kegiatan sosial budaya; 5 Pembatasan moda transportasi; dan 6 Pembatasan kegiatan lainnya terkait aspek pertahanan dan keamanan”. Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 Pembatasan sosial social distancing menjadi faktor utama mengapa ritual rambu solo’ dibatasi karena ritual ini melibatkan perkumpulan banyak orang sehingga dapat berpotensi penyebaran virus covid 19 lebih besar. Banyak ditemukan beberapa kasus di mana korban yang meninggal akibat Covid-19 dimakamkan berdasarkan protokol penatalaksanaan pemulasaraan dan pemakaman jenazah Covid 19. Sehingga tidak memungkinkan bagi keluarga untuk melaksanakan ritual kematian rambu solo’ seperti pada umumnya. Tingkatan pada upacara rambu solo’ tidak lagi terlaksana seperti biasanya karena adanya aturan yang berlaku Mawarni et al., 2023. Hal ini menimbulkan berbagai pro dan kontra dalam masyarakat, yang mana beberapa keluarga tetap ingin melaksanakan upacara pemakaman yang layak bagi keluarga atau kerabat yang meninggal. Salah satu kasus yang ditemui di Kecamatan Sa’dan Dusun Buntukerre’ di mana korban dinyatakan meninggal karena positif virus corona oleh rumah sakit Lakipadada. Korban dengan Inisial J tersebut dinyatakan meninggal karena virus corona setelah melakukan rapid tes di rumah sakit Lakipadada Toraja Utara. Pihak keluarga berasumsi bahwa korban meninggal bukan karena Covid sehingga pihak keluarga berencana untuk melaksanakan ritual kematian bagi korban tetapi hal tersebut tidak disetujui baik dari pihak rumah sakit maupun dari pemerintah setempat. Oleh karena itu pelaksanaan ritual kematian korban dengan inisial J ini dilaksanakan pada hari ke empat puluh kematian korban, di mana pihak keluarga melakukan upacara atau ibadah penghiburan bagi keluarga yang mana pada proses ini tidak lagi dihadiri oleh ribuan orang melainkan hanya pihak keluarga dan kerabat yang terkait. Kasus lain yang ditemukan adalah korban Covid-19 dengan inisial P di mana korban dinyatakan meninggal karena positif Covid-19 oleh puskesmas Kondo Dewata di mana pihak puskesmas mengatakan bahwa korban harus dimakamkan berdasarkan protokol yang berlaku namun pihak keluarga tidak menyetujui hal tersebut karena pihak keluarga yakin bahwa korban meninggal bukan karena covid-19 melainkan penyakit yang dideritanya. Sehingga pihak keluarga bersikeras untuk menyimpan korban sesuai dengan tradisi sebelum diadakan ritual kematian. Korban disimpan dinanna selama sepuluh bulan sebelum diacarakan. Namun dalam perayaannya diberlakukan syarat di mana orang yang menghadairi ritual tersebut diharuskan mematuhi protokol kesehatan dan juga jumlah tamu yang datang tidak sebanyak perayaan ritual sebelumnya, faktor utama dari kurangnya orang yang hadir adalah ketakutan dan kekhawatiran akan penularan virus corona. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dengan judul “Pelaksanaan Ritual Kematian Keluarga Korban Covid 19 di Tana Toraja”. METODE PENELITIAN Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 Penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Ritual Kematian Keluarga Korban Covid-19 di Toraja Utara” menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatakan deskriptif. Sebagaimana dikatakan Bodgan dan Taylor dalam Purnama, 2020 “penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang mampu menghasilkan data deskriptif berupa ucapan, tulisan, dan perilaku dari orang-orang yang diamati”. Dari beberapa defenisi tersebut tentunya sejalan dengan tujuan penelitian ini yang bermaksud untuk mendeskripsikan kontrol sosial masyarakat terhadap waria di taman Makam Pahlawan Panaikang Kota Makassar. Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat sekitar taman makam pahlawan Panaikang Kota Makassar yang terdiri dari 10 orang sebagai informan. PEMBAHASAN Pelaksanaan Ritual Kematian Keluarga Korban Covid-19 di Toraja Utara Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan ritual kematian kelurga korban covid-19 di Toraja Utara adalah melalui ritual ma’palin yang dilaksanakan selama tiga hari sebagai berikut a hari pertama merupakan hari di mana semua anggota keluarga berkumpul untuk melakukan penggalian mayat yang dikubur sebelumnya ke dalam tanah. Berdasarkan hasil wawancara dalam upacara ma’palin hari pertama merupakan hari di mana semua nggota keluarga maupun masyarakat sekitar berkumpul untuk melakukan kegiatan menggali kubur dan pengangkatan mayat. Seperti yang dijelaskan oleh Petrus, 2019 “penggalian mayat atau eksomasi adalah penggalian kuburan untuk mengeluarkan kembali mayat yang sudah di makamkan dari kuburnya”. kemudian dilakukan pembungkusan mayat menggunakan kain yang disediakan oleh pihak keluarga yang disebut dengan kaseda kain merah yang merupakan kain Panjang yang dipakai membungkus orang mati. b Hari kedua dilakukan pembakaran atau persembahan hewan kurban berupa kerbau dan babi maupun hewan lainnya seperti ayam, di mana pembakaran hewan ini ditujukan sebagai persembahan kepada orang yang telah meninggal sebagai bekal yang akan ia bawah menuju puya yang dipercayai orang Toraja sebagai tempat peristirahatan di mana para arwah dan leluhur berkumpul dan juga sebagai makanan bagi tamu yang datang dengan cara dibagi-bagikan menjadi potongan tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh Naomi dalam Tahirs & Pundissing, 2020 “manta padang merupakan puncak pelaksanaan upacara dengan memotong hewan yaitu kerbau dan babi dan dibagikan secara adat”. Hal ini berdasarkan hasil wawancara yang telah dijelaskan oleh informan yakni pada saat ada perayaan rambu solo’ bagi mereka yang meninggal bukan covid, korban yang sebelumnya meninggal karena covid digali dan kemudian di ikutkan dengan orang yang sedang diacarakan. Hal ini jarang terjadi, namun pada saat Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 melakukan wawancara penulis menemukan salah satu informan yang mana pada saat neneknya diacarakan, ibunya yang dinyatakan meninggal karena covid digali pada saat itu dan dikuburkan ke dalam patane bersama dengan nenek informan. Informan mengungkapkan bahwa hal ini tidak berbeda jauh dengan ritual ma’palin, hanya saja yang membedakan adalah hewan kurban yang dipersembahkan bertambah dan juga jumlah orang yang hadir juga lebih banyak. c Hari ketiga merupakan hari di mana dilakukan proses pemindahan mayat yang telah dibalut dengan kain kaseda tadi ke dalam patane tetapi sebelumnya itu dilakukan ibadah bersama anggota keluarga dan segenap orang-orang yang turut hadir di acara tersebut, yang bertujuan untuk mendoakan arwah atau mayat yang telah dibalut dengan kain, dan agar arwah tenang di alam baka. Kegiatan pemindahan mayat dilakukan dengan mengarak mayat/kerangka yang telah di balut dengan kain dari rumah tongkonan ke liang kubur patane yang dilakukan oleh pihak keluarga dan juga diikuti oleh masyarakat sebagai tanda mengantar orang yang meninggal ke tempat peristirahatannya yang layak. Sesuai yang dijelaskan oleh Naomi et al., 2020 “pemindahan jenazah dari lumbung ke lapangan dilakukan dengan iringan arak-arakan khas masyarakat Toraja”. Berdasarkan hasil wawancara, ibadah penghiburan dilakukan untuk mengenanng korban yang meninggal karena covid yang langsung dikuburkan ke dalam tanah saat meninggal. Pada ibadah penghiburan ini dilakukan pada hari ke-3 dan ibadah penghiburan yang dihadiri oleh pihak keluarga besar korban dan orang sekitar untuk mendoakan arwah korban yang meninggal karena covid agar tenang di alam baka. Apabila dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Mead maka tindakan atau alternatif yang diambil oleh pihak keluarga terkait pelaksanaan ritual yang layak bagi korban yang meninggal karena Covid-19 tergambar dalam empat basis tahap tindakan dari interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Mead, yang mana tindakan stimulus atau dorongan muncul ketika pemerintah tidak mengijinkan untuk mengadakan ritual rambu solo’ secara langsung bagi mereka yang meninggal karena Covid-19 maka muncullah dorongan dalam diri masyarakat untuk memikirkan cara apa yang dapat ditempuh untuk memberikan perpisahan yang layak bagi mereka yang meninggal karena Covid. Setelah memikirkan cara yang akan dipakai, dari proses dorongan untuk mencari alternatif lain maka akan memunculkan reaksi persepsi dari masyraakat sendiri sembari mencari cara yang dapat dilakukan. Dari hasil stimulus dan persepsi yang dilakukan oleh masyarakat maka timbullah tahap manipulasi yakni mengambil tindakan untuk melakukan ritual adat ma’palin sebagai alternatif pelaksanaan ritual bagi mereka yang meninggalkan karena Covid-19, dan setelah mengambil tindakan manipulasi maka pihak keluarga akan memutuskan apakah mereka akan melaksanakan ritual ma’palin atau tidak dan kapan ritual akan dilaksanakan konsumasi. Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa orang-orang yang meninggal karena Covid di Toraja Utara khususnya Kecamatan Sa’dan pada dasarnya tidak diritualkan secara langsung saat korban meninggal, karena sesuai dengan anjuran pemerintah bahwa mereka yang dinyatakan rumah sakit meninggal karena Covid harus segera dikuburkan. Namun tentu saja karena menyadari bahwa orang Toraja memiliki kepercayaan bahwa orang yang meninggal juga berhak untuk mendapatkan tempat yang layak dan agar arwahnya tenang harus dilakukan tindak lanjut berupa ritual ma’palin yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu oleh Ismail, 2019 dengan judul penelitian “Ritual Kematian Dalam Agama Toraja Aluk To Dolo Studi Atas Upacara Rambu solo’. Maka didapatkan perbedaan dan persamaan. Di mana perbedaannya terletak pada bentuk pelaksanaan di mana pada penelitian terdahulu terfokus kepada pelaksanaan rambu solo’ pada umumnya sebelum pendemi covid-19, yang mengatakan bahwa orang yang meninggal sebelum diacarakan masih harus disimpan di atas tongkonan karena mereka masih dinggap ada di dalam dunia, sehingga perlu diadakan rambu solo’ untuk menghantarkannya ke alam baka, begitupun hewan persembahan yang diberikan merupakan bekal bagi orang yang diacarakan karena berdasarkan penelitian terdahulu dikatakan bahwa hewan yang dikorbankan dalam upacara berfungsi sebagai bekal untuk kehidupan di dunia baru yang bernama puya. Kemudian perbedaan lainnya adalah studi kasus yang diteliti, di mana pada penelitian terdahulu meneliti pelakasanaan ritual kematian orang yang meninggal pada umumnya sedangkan pada penelitian yang di teliti oleh penulis lebih berfokus kepada bentuk pelaksanaan ritual rambu solo’ pada korban covid-19 dan hasil penelitian pelaksanaan ritual dilaksanakan dengan cara melalui ritual adat ma’palin sebagai pengganti ritual rambu solo’ pada umumnya. Adapun persamaanya adalah sama-sama meneliti pelaksanaan ritual kematian pada masyarakat Toraja, dan juga kepercayaan bahwa orang yang meninggal tanpa memberikan pelaksanaan yang layak masih dianggap ada di dunia, sehingga diadakan ritual kematian untuk mengantarkan arwah ke alam baka. Adapun penelitian terdahulu yang kedua oleh Naomi et al., 2020 dengan judul “Upacara Rambu Solo’ di Kelurahan Padanggiring Kecamatan Rantetayo Kabupaten Tana Toraja” di mana hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang meninggal belum dikatakan sempurna atau masih dikatakan sakit jika belum diberikan pelaksanaan ritual kematian yang layak sehingga perlu dilakukannya ritual kematian bagi mereka yang meninggal. Sedangkan perbedaannya adalah cara pelaksanaan ritual kematiannya Faktor-Faktor Yang Menjadi Kendala dalam Pelaksanaan Ritual Kematian Keluarga Korban Covid-19 di Toraja Utara. a. Aturan Pemerintah Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 Pelaksanaan ritual kematian merupakan salah satu ciri khas dari daerah Toraja, di mana setiap orang yang meninggal diberikan penghormatan yang sangat meriah layaknya perisahan terakhir yang diadakan secara meriah. Bagi masyarakat Toraja sudah sepantasnya bila orang yang meninggal diritualkan dengan cara yang meriah karena merupakan bentuk perpisahan terakhir dari keluarga yang meninggal. Namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang meninggal karena covid, di mana seperti yang kita ketahui bahwa mereka yang dinyatakan meninggal karena covid langsung ditanam ke dalam tanah, tanpa adanya pelaksanaan ritual rambu solo’. Peraturan pemerintah dalam Andiraharja, 2020 yang menyatakan “Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 COVID-19” di mana aturan ini ditujukan untuk masyarakat agar menjaga jarak dan mematuhi protokol kesehatan agar penyebaran virus corona dapat ditekan. Namun berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari informan, yang menjadi penghambat utama dari tidak dilaksanakannya upacara rambu solo’ seperti biasanya pada korban yang meninggal adalah karena adanya aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Memaksakan untuk melaksanakan ritual kematian dalam keadaan yang tidak memungkinkan dapat memicu masalah dalam masyarakat baik antara pemerintah dengan masyarakat maupun masyarakat dengan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Mead dalam Hasbullah & Ahid, 2022 yang menyatakan “Konflik dan status sosial dalam interaksi sosial memiliki pengaruh signifikan terhadap proses pemaknaan dan tindakan seseorang, di mana Mead menyadari bahwa manusia sering terlibat dalam suatu aktivitas yang didalamnya terkandung konflik”. Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami ketika ada tindakan paksaan yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu, akan berpotensi menimbulkan konflik dengan pemerintah. Sehingga informan mengatakan bahwa ketidakberdayaan mereka untuk melakukan ritual rambu solo’ bagi mereka yang meninggal karena Covid-19 adalah hal yang tidak bisa disanggah karena merupakan aturan yang mutlak dari pemerintah. Sebagai masyarakat yang berada di bawah naungan hukum, masyarakat hanya bisa tunduk terhadap aturan yang berlaku. Masyarakat juga menyadari bahwa sebagai warga negara yang berada di bawah naungan hukum, mereka tidak dapat bertindak sesuka hati. b. Dikucilkan oleh masyarakat lain Kemudian adapun hambatan lain yang menjadi faktor tidak dilaksanakannya ritual rambu solo’oleh anggota keluarga yang meninggal karena covid adalah tidak adanya dukungan dari masyarakat sekitar. Berdasarkan penjelasan dari informan, menyatakan bahwa selain dari aturan pemerintah yang melarang untuk melaksanakan ritual rambu solo’ perasaan dikucilkan oleh masyarakat juga menjadi salah satu penghambat dalam melaksanakan ritual kematian rambu solo’ bagi anggota keluarga yang meninggal karena covid. Seperti yang dijelaskan oleh Livana dalam Namuwali et al., 2022 menyatakan “Stigma muncul dalam perilaku sosial Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 seperti mengucilkan pasien, menolak dan mengucilkan keluarga jenazah karena masih dianggap pembawa virus”. Ketakutan akan virus corona menjadi pemicuh munculnya prasangka buruk dalam masyarakat, terutama mereka yang memiliki anggota keluarga yang meninggal karena covid biasanya akan langsung dijauhi masyarakat untuk sementara waktu atau melakukan karantina mandiri karena ketakutan akan tertularnya orang lain oleh virus corona. Bagi pihak keluarga yang mengalami kedukaan tentu saja rasa sedih yang mereka alami akan bertambah saat masyarakat sekitarnya menjaga jarak, sehingga tidak mungkin bagi pihak keluarga melaksanakan ritual rambu solo’, di samping itu juga, untuk dapat melaksanakan ritual rambu solo’ harus membutuhkan banyak bantuan dan tenaga dari masyarakat sekitar sedangkan pada saat itu keadaan tidak memungkinkan karena pihak keluarga harus melakukan isolasi mandiri dan korban pun langsung dikuburkan sehingga pihak keluarga memilih alternatif lain untuk memberikan acara yang layak bagi anggota keluarga yang meninggal karena covid yakni kegiatan ma’palin dan juga ibadah penghiburan dari pihak keluarga yang diadakan setelah semua anggota keluarga melakukan karantina mandiri dan dinyatakan bebas dari covid. Tanggapan dari masyarakat sangat mempengaruhi apa yang harus dilakukan oleh pihak keluarga yang keluarganya meninggal karena covid, jika dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik seperti yang dijelaskan oleh Umiarso dan Elbadiansyah dalam Nurdin, 2020 “Interaksionisme simbolik memfokuskan pada interaksi sosial perilaku manusia yang dilihat sebagai suatu proses pada diri manusia untuk membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra Sehingga dapat dijelaskan salah satu alasan pihak keluarga tidak melaksanakan ritual kematian pada saat korban meninggal adalah adanya rasa takut terhadap kenyamanan masyarakat sekitar, dan agar terhindar dari prasangka yang tidak baik dan untuk menjaga hubungan yang baik dalam masyarakat. Jika dikaitkan dengan empat basis tahap tindakan menurut Mead yakni implus, persepsi, manipulasi dan konsumasi maka dapat dijelaskan sebagai berikut orang yang meninggal karena virus corona dimaknai sebagai simbol yang dapat menyebabkan penyebaran virus di masyarakat sehingga timbullah rasa takut dari pihak masyarakat kepada pihak keluarga korban covid yang mendorong terjadinya tindakan implus yakni dorongan hati atau rangsangan dari stimulus yang spontan yang mengakibatkan masyarakat seolah menjauh atau menjaga jarak dari keluarga korban covid-19, sehingga komunikasi atau interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat bisa terputus atau terganggu sedangkan syarat dari interaksionisme simbolik adalah interaksi alami yang terjadi diantara individu yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan faktor yang menjadi kendala pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara, apabila dianalisis dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik yang mengacu pada basis tindakan, maka dapat Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 dijelaskan bahwa adanya covid-19 sebagai wabah penyebaran virus yang menyebabkan kecemasan dalam masyarakat membuat pemerintah mengambil tindakan secara spontan implus berdasarkan situasi dan keadaan yang terjadi dalam masyarakat, kemudian dari keputusan yang diambil pemerintah maka timbullah persepsi reaksi dari masyarakat terhadap aturan tersebut. Kemudian dari hasil reaksi tersebut maka timbullah mnipulas pengambilan tindakan dari pihak masyarakat terkait aturan pemerintah yakni tidak mengijinkan pelaksanaan perayaan ritual rambu solo’ dalam masyarakat terutama mereka yang meninggal karena covid-19. Kemudian dari hasil pengambilan tindakan atau manipulasi, maka masyarakat sampai kepada basis tindakan konsumasi yakni keputusan untuk mematuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah. Jika dikaitkan dengan penelitian terdahulu Ismail, 2019 “Ritual Kematian dalam Agama Toraja Aluk Todolo Studi Atas Upacara Kematian Rambu solo’” dengan penelitian yang sekarang “Pelaksanaan Ritual Kematian Keluarga Korban Covid-19 di Toraja Utara” memiliki persamaan dan perbedaan. Adapun persamaan antara peneliti terdahulu dengan perneliti sekarang adalah sama-sama membahas tentang pelaksanaa ritual kemarian, sedangkan perbedaannya terletak pada rumusan masalah di mana rumusan masalah penelitian terdahulu meliputi pertama, bagaimana makna kematian menurut asli Toraja Aluk Todolo, dan kedua, mengapa mayoritas masyarakat Toraja tetap melaksanakan Rambu Solo’ meskipun menelan biaya yang sangat mahal. Sedangkan rumusan masalah pada penelitian sekarang meliputi pertama, bagaimana pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara, dan yang kedua apa faktor yang menjadi kendala pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian mengenai pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara maka dapat disimpulkan sebagai berikut 1 Pelaksanaan ritual kematian kelurga korban covid-19 di Toraja Utara dilaksanakan selam tiga hari meliputi a hari pertama merupakan hari untuk melakukan penggalian mayat yang dikubur sebelumnya ke dalam tanah, kemudian dibungkus dengan kain merah kaseda. b Hari kedua dilakukan pembakaran atau persembahan hewan kurban berupa kerbau dan babi maupun hewan lainnya seperti ayam. c Hari ketiga merupakan hari di mana dilakukan proses pemindahan mayat yang telah dibalut dengan kain kaseda tadi ke dalam patane. 2 Faktor penghambat pelaksanaan ritual kematian keluarga korban covid-19 di Toraja Utara adalah a aturan pemerintah. b dikucilkan masyaakat sekitar Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 DAFTAR PUSTAKA Andiraharja, D. G. 2020. Peran pemerintah daerah pada penanganan COVID-19. Jurnal Politik Pemerintahan Dharma Praja, 131, 52–68. Hairi, P. J. 2020. Implikasi hukum pembatasan sosial berskala besar terkait pencegahan Covid-19. Info Singkat Bidang Hukum, 127, 1–6. Haq, A., Masnarivan, Y., Sari, D. M., Shabiyya, H., & Fadhil, M. 2020. Upaya pencegahan penularan covid-19 di Kelurahan Puhun Pintu Kabun Kota Bukittinggi. BULETIN ILMIAH NAGARI MEMBANGUN, 33, 173–180. Hasbullah, A. R., & Ahid, N. 2022. Penerapan Teori Interaksi Simbolik dan Perubahan Sosial di Era Digital. At-Tahdzib Jurnal Studi Islam Dan Muamalah, 101, 36–49. Ihsan, M., & Syukur, M. Tradisi Mappattabe Pada Masyarakat Bugis di Desa Marannu Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrang. Pinisi Journal of Sociology Education Review, 12, 11–20. Ilyasa, R. M. A. 2020. Prinsip Pembangunan Infrastruktur yang Berlandaskan Hak Asasi Manusia Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia. Sasi, 263, 380–391. Ismail, R. 2019. Ritual kematian dalam agama asli Toraja “Aluk to dolo”Studi atas upacara kematian rambu solok. Religi Jurnal Studi Agama-Agama, 151, 87–106. Mawarni, I. S., Agustang, A., & Syukur, M. 2023. KONSTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PELAPISAN KASTA PADA ACARA RAMBU SOLO’DI DAERAH TONDO LANGI’TORAJA UTARA. JISIP Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan, 71. Namuwali, D., Hara, M. K., & Njakatara, U. N. 2022. Pengalaman Stigma Penderita Covid-19 selama Menjalani Isolasi Mandiri. Jurnal Keperawatan, 143, 863–870. Naomi, R., Matheosz, J. N., & Deeng, D. 2020. UPACARA RAMBU SOLOâ€TM DI KELURAHAN PADANGIRING KECAMATAN RANTETAYO KABUPATEN TANA TORAJA. HOLISTIK, Journal of Social and Culture. Nurdin, A. 2020. Teori Komunikasi Interpersonal Disertai Contoh Fenomena Praktis. Prenada Media. Paganggi, R. R. 2020. PERGESERAN MAKNA DALAM PELAKSANAAN UPACARA ADAT RAMBU SOLO‟ PADA MASYARAKAT TORAJA. UNIVERSITAS BOSOWA. Patadungan, E., Purwanto, A., & Waani, F. J. 2020. DAMPAK PERUBAHAN STATUS SOSIAL TERHADAP UPACARA RAMBU SOLOâ€TM DI KELURAHAN TONDON MAMULLU KECAMATAN MAKALE KABUPATEN TANA TORAJA. HOLISTIK, Journal of Social and Culture. Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 3; Maret 2023 Halaman 74-86 Petrus, A. 2019. Upaya Pembuktian Suatu Penyakit atau Trauma pada Kasus Eksumasi. Majalah Kedokteran Nusantara The Journal of Medical School, 524, 185–190. Purnama, Y. 2020. Faktor Penyebab Seks Bebas Pada Remaja. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 52, 156–163. Rofiq, A. 2019. Tradisi slametan Jawa dalam perpektif pendidikan Islam. Attaqwa Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 152, 93–107. Rusdiana, A. R. KEBUDAYAAN JAWA DALAM NOVEL TEMBANG KALA GANJUR KARYA AGUS SULTON KAJIAN INTERPRETATIF SIMBOLIK CLIFFORD GEERTZ. SESA, E. 2022. ANALISIS NILAI PENDIDIKAN KARAKTER RELIGIUS DALAM WACANA BADONG PADA UPACARA RAMBU SOLO’SUKU TORAJA. UNIVERSITAS BOSOWA. Tahirs, J. P., & Pundissing, R. 2020. Identifikasi Faktor-Faktor Pembiayaan Dalam Pelaksanaan Upacara Adat Kematian Rambu Solo’Budaya Toraja. Kaganga Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Riset Sosial Humaniora, 32, 122–130. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Pabisangan Tahirs Rati PundissingThis study aims to identify the financing factors in the implementation of the Toraja culture of the traditional death ceremony Rambu Solo '. The method used is descriptive qualitative. The results showed that the ritual of rambu solo 'was carried out in several stages, namely the stage of ceremony preparation family gathering, making huts, provision of ceremony equipment and ceremonial implementation stages Ma'Pasulluk, Mangriu' Batu Messimbuang, Mebala'kan, Ma'Pasa '. Tedong, Ma'papengkalao, Lantang Mangisi, Ma'palao and Ma'pasonglo, Allo Katongkonan, Allo Katorroan, Mantaa Padang and Me Aa. This research concludes that the implementation of the rambu solo 'ceremony is different for each group social strata. Keywords Implementation cost, Social Strata, Toraja tribeKasus Covid-19 mulai dilaporkan di Indonesia dengan 2 kasus konfirmasi positif pada tanggal 2 Maret 2020. Terhitung hingga tanggal 2 Mei 2020 di Provinsi Sumatera Barat telah ditemukan 182 kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Permasalahan di masyarakat saat ini terkait Covid-19 antara lain tingginya urgensi dalam upaya-upaya pencegahan penularan Covid-19 khususnya di tingkat individu atau anggota masyarakat, seperti penggunaan masker, menjaga kebersihan tangan, mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, dan lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat melalui pendistribusian sembako dan peningkatan pengetahuan masyarakat melalui media leaflet, serta pemberian masker non-medis. Kegiatan ini dilaksanakan di RW 003 Kelurahan Puhun Pintu Kabun Kota Bukittinggi. Khalayak sasaran merupakan masyarakat yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah atau terdampak secara ekonomi dari pandemi Covid-19. Sebagian peserta mengisi kuisioner untuk menilai tingkat pengetahuan terkait Covid-19 secara umum. Kegiatan pendistribusian sembako, leaflet dan masker telah terlaksana dengan baik pada 40 orang khalayak sasaran. Berdasarkan hasil yang didapatkan dari kuisioner gambaran pengetahuan masyarakat diketahui bahwa sebagian besar pengetahuan sudah baik. Pengetahuan yang baik diharapkan dapat diikuti dengan sikap dan perilaku dalam upaya pencegahan Covid-19. Disarankan agar masyarakat dapat menerapkan upaya-upaya pencegahan penularan Covid-19 yang telah disampaikan melalui media leaflet termasuk menggunakan masker, menjaga kebersihan tangan dan Ginanjar AndiraharjaThis study aimed to assess the strategies that have been implemented by the central and regional governments in handling COVID-19. There are ten regulations related to the research objectives that have been reviewed. The method applied is normative legal research. Second level data is used in this study. The literature reviewed is used to solve researchers' questions. From this study it was revealed that the local government was obliged to decide on the policies that had to be taken in handling COVID-19 with normal basic health service conditions. In the situation of the COVID-19 pandemic, the appropriate regulations were enacted not the Law on Regional Government, but the Law on Health Quarantine. The conclusion of this study, in the condition of public health emergencies there is uncertainty at the local government level, because with the decentralization in the field of health causes basic health service standards vary according to the commitment and fiscal capacity of local governments. Strengthening the role of local government is a major factor in overcoming COVID-19. Health services in the regions must be ensured by the central government to conform to the COVID-19 handling standard. With the current state of public health emergencies, it is hoped that the division of roles of the center and the regions will be expected to ensure the safety of hukum pembatasan sosial berskala besar terkait pencegahan Covid-19P J HairiHairi, P. J. 2020. Implikasi hukum pembatasan sosial berskala besar terkait pencegahan Covid-19. Info Singkat Bidang Hukum, 127, Teori Interaksi Simbolik dan Perubahan Sosial di Era DigitalA R HasbullahN AhidHasbullah, A. R., & Ahid, N. 2022. Penerapan Teori Interaksi Simbolik dan Perubahan Sosial di Era Digital. At-Tahdzib Jurnal Studi Islam Dan Muamalah, 101, kematian dalam agama asli TorajaR IsmailIsmail, R. 2019. Ritual kematian dalam agama asli Toraja "Aluk to dolo"Studi atas upacara kematian rambu solok. Religi Jurnal Studi Agama-Agama, 151, Stigma Penderita Covid-19 selama Menjalani Isolasi MandiriD NamuwaliM K HaraU N NjakataraNamuwali, D., Hara, M. K., & Njakatara, U. N. 2022. Pengalaman Stigma Penderita Covid-19 selama Menjalani Isolasi Mandiri. Jurnal Keperawatan, 143, Komunikasi Interpersonal Disertai Contoh Fenomena PraktisA NurdinNurdin, A. 2020. Teori Komunikasi Interpersonal Disertai Contoh Fenomena Praktis. Prenada Pembuktian Suatu Penyakit atau Trauma pada Kasus EksumasiA PetrusPetrus, A. 2019. Upaya Pembuktian Suatu Penyakit atau Trauma pada Kasus Eksumasi. Majalah Kedokteran Nusantara The Journal of Medical School, 524, Penyebab Seks Bebas Pada RemajaY PurnamaPurnama, Y. 2020. Faktor Penyebab Seks Bebas Pada Remaja. Syntax Literate; New York - Sepanjang sejarah, ada banyak ritual yang diikuti oleh perseorangan maupun kelompok yang mungkin saja dipandang aneh atau tidak biasa oleh orang atau kelompok lain. Dikutip dari Ancient Origins pada Senin 18/7/2016, berikut ini adalah ulasan singkat beberapa ritual yang berakar sejak zaman dahulu kala, namun ada yang masih terus berlanjut hingga masa kini. Pohon Apel Bersejarah Berusia 200 Tahun Mati Perlahan-lahan 5 Teori Konspirasi Fenomenal Penyebab Kematian Tokoh Dunia 10 'Mahakarya Kematian' yang Menggetarkan Jiwa Kebanyakan ritual dilakukan untuk menyenangkan para dewa, tapi ada juga kegunaan lain yang diyakini dapat membantu seseorang atau masyarakat tertentu 1. Aghori dan Dupa Di India, kaum Aghori adalah pria-pria suci asketis Shiwa yang dikenal berurusan dengan ritual sesudah kematian post-mortem. Mereka tinggal di kuburan-kuburan dan menaburkan abu kremasi pada tubuh mereka. Mereka juga menggunakan tulang-belulang manusia untuk menjadi perhiasan dan tengkorak manusia untuk menjadi kapala, yakni topi upacara. Praktik-praktik mereka bertentangan dengan Hinduisme orthodoks, sehingga hampir semua tindakan mereka ditentang oleh penganut Hindu lainnya. Aghori melakukan meditasi dan beribadah di tempat-tempat yang oleh orang lain disebut "rumah berpenunggu." Walaupun begitu, para guru Aghori memiliki banyak pengikut di pedesaan dan dipercaya memiliki kekuatan penyembuhan yang didapat dari adat yang ketat dan pengucilan diri. Kaum Aghori tampil dalam film "The Other Side of the Door" keluaran 2016. Suatu ritual aneh lainnya yang dilestarikan sejak jaman purba juga ada di India. Pada hari tertentu dalam suatu tahun, mereka yang percaya pergi ke kuil untuk menghirup sejenis dupa yang disulut oleh para imam. Para pengikut ini kemudian memasuki keadaan seperti kesurupan. 2. Mumifikasi Diri di Jepang Ritual aneh berikutnya adalah mumifikasi diri. Praktik ini sudah dilarang di Jepang sejak abad 20. Ritual ini dilakukan berkaitan dengan kepercayaan Buddha untuk memisahkan diri dari dunia. Beberapa biarawan menterjemahkan gagasan ini hingga menjadi diet ekstrem sampai meninggal. Dengan pengawetan jasadnya, para biarawan ini membuktikan kesuciannya. Biasanya ritual dimulai dengan diet biji-bijian dan kacang-kacangan selama 3 tahun. Diet ini ini dilengkapi dengan serangkaian olah raga untuk menghabisi semua lemak tubuh. Selama 3 tahun berikutnya, diet diganti dengan bonggol pohon, akar-akaran, dan teh beracun yang terbuat dari pohon Urushi. Teh ini menyebabkan sang biarawan muntah-muntah sehingga membuang cairan tubuh dan membunuh belatung yang mungkin berkembang setelah kematian. Pada akhirnya, sang biarawan mengunci dirinya di dalam makam dalam posisi bunga teratai. Di dalamnya, ia membawa selang pernafasan dan sebuah lonceng yang dibunyikannya untuk memberitahu bahwa dia masih hidup. Setelah biarawan itu wafat, makamnya di segel. Hingga hari ini ada sekitar 20 mumi biarawan yang telah ditemukan. 3. Santapan Kematian Yanomamo Suku Yanomamo di Venezuela memiliki upacara menyantap sesamanya yang sudah meninggal. Upacara ini sudah ada jauh sebelum diungkapkan oleh bangsa-bangsa Barat. Budaya Yanomamo adalah salah satu budaya poligami yang masih tersisa di dunia. Mereka menenggak zat halusinogen ketika merasa sakit. Namun demikian, ritual kematian lah yang oleh orang luar dianggap sebagai aspek yang paling aneh. Tentu saja ritual ini juga berkaitan dengan kepercayaan. Mereka percaya bahwa warga yang meninggal dibawa pergi oleh pemakan nyawa yang laparnya tidak terpuaskan, lalu menyedot kekuatan kehidupan mereka yang meninggal. Jika rantai penghisapan ini tidak dihentikan, para pemakan nyawa ini akan terus makan hingga manusia seluruh dunia mati semuanya. Sebagai akibatnya, untuk menghentikan rantai santap-menyantap nyawa ini, suku Yanomamo memakan sesamanya yang meninggal. Pertama-tama, mereka melakukan kremasi jenazah dan kemudian menggiling tulang-belulang terbesar menggunakan alu dan godokan ini digunakan sebagai bahan dasar sup pisang. 4. Festival Thookkam Thookkam adalah suatu festival di India diikuti oleh sejumlah orang yang ditusuk dengan kaitan, lalu digantung di suatu bingkai selama beberapa jam. Walaupun memiliki akar budaya masa lalu, festival ini baru saja dilarang oleh pemerintah India. Acara ini biasanya dilangsungkan di Kerala Selatan, dalam kuli-kuil pemujaan dewi Kali. Warga menari dan darah yang tercurah dipercaya menenangkan dewi Kali sehingga tidak mengamuk. Pengikut yang diberi kait digantung di suatu bingkai dan diarak keliling kuli sebanyak 3 kali. Darah yang tercecer dikumpulkan untuk dipersembahkan kepada Dewi Kali guna menenangkannya.* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

perhatikan data berikut ini 1 mengiringi ritual kematian